15 August 2009

PUISI

LAYANG - LAYANG




Ku-ulur benangnya

Agar dapat mengudara dengan bebas

Pada angin kuserahkan liukkannya

Kutarik benangnya

Agar dapat bertahan

Pada matahari kutitipkan kilauan indahnya

Layang-layangku elok dan lincah

Senyumku tak pernah lepas memandangnya

Layang-layangku yang paling indah

Banyak yang ingin memilikinya

Tapi tak akan pernah kulepas layang-layangku

Karena hanya ada satu-satunya

Aku akan menangis bila layang-layangku terkoyak

Tapi angin

Kenapa kau terbangkan layang-layang dari tanganku ?

Engkau tahu

Aku pasrahkan engkau menuntun layang-layangku

Kuserahkan liukan layang-layangku padamu

Kenapa kau lakukan itu padaku ?

Angin

Kemana aku harus mengejar dan mencari layang-layangku ?

Aku tidak lagi dapat menangis

Air mataku sudah habis

Suaraku pun sudah habis untuk mencari layang-layangku


Singosari, 27 Juli 2009






AKU TAK PUNYA RASA LAGI



Ciumlah aku

Dingin yang akan kau rasakan

Peluk erat-erat tubuhku

Bak memeluk sebongkah es rasamu


Kecup bibirku

Butiran-butiran es akan terasa olehmu

Elus lembut jemariku

Tak lagi berdarah rasanya


Putih... berbayang

Biru... berbayang

Campur baur berterbangan

Namun satupun tak termakna


Bisikkan sesuatu padaku

Hanya hening bergayut

Tatap lekat-lekat mataku

Hanya bayang tak jelas yang tampak


Sebenarnya aku tahu

Kemana perginya

Pipi lembutku

Dan juga hangat tubuhku


Aku juga tahu

Dimana ranum bibirku tersimpan

Serta

Lentik jemariku berada


Putih... berbayang

Biru... berbayang

Tajamkan mata untuk dapat memandang

Namun tetap tak temukan apa-apa

Semua kosong

Semua hampa

Kosong... hampa

Apa bedanya

Sakitku tak lagi berdarah

Rinduku tak lagi membiru

Tubuhku tak lagi hangat

Aku tak lagi rasakan apa-apa


Singosari, 14 Juni 2009





A N A K - K U



Wahai belahan jiwa kami

Tahukah kalian

Bahwa dunia ini adalah milik kalian ?

Usah kalian merengek

Agar kami meletakkan bintang di tangan kalian

Kami yang akan memetik bintang itu

Tanpa kalian meminta apalagi sampai merengek

Wahai butiran-butiran intan permata kami

Mengertikah kalian

Bahwa dunia ini adalah milik kalian ?

Akan kami bungkus matahari

Dengan hiasan-hiasan pita nan indah

Untuk kami berikan pada kalian

Agar hilang duka dan penat di wajah kalian

Duhai belahan jiwa kami

Mengertilah

Bahwa tawa kalian adalah

Nafas bagi kehidupan kami

Duhai butiran-butiran intan permata kami

Fahamilah

Kalau duka dan tangis kalian adalah

Kematian bagi jiwa kami


Singosari, 13 Juni 2009





B A L I



Ada jejak yang tertinggal di hamparan pantaimu

Aku tahu

Itu adalah jejakku

Ada aroma yang masih menyeruak lembut

Di batang-batang bambumu

Itulah yang tertinggal dariku

Kini aku kembali

Untuk menata jejak di hamparan pantaimu

Agar elok dipandang

Aku juga kembali ke rumpun bambumu

Untuk mengumpulkan sejumput demi sejumput

Aromaku yang tertinggal

Jejak itu telah menjadi puzzle

Rumit

Namun indah

Aroma itu telah menyatu dengan darahku

Mengalirkan kesegaran

Di tiap pori-pori ragaku

Saat kubingkai puzzle dalam lamat-lamat kenangan

Terasa kuat tertancap

Hiasi dinding hatiku

Timbulkan keelokan kahyangan

Saat aliran darahku mengalir ikuti irama waktu

Terasa jiwa ini di terangi selaksa kunang-kunang

Menyeruak keluar

Tebarkan aroma surgawi


Singosari, 13 Juni 2009







SUARA HATI



Suara hati adalah teman sejati bagi kita

Dia tidak pernah

Dan tidak akan pernah menjadi pengkhianat bagi kita

Kitalah yang selalu mengkhianatinya

Kasihnya pada kita tulus

Saperti kasih-Nya pada siapa dan apapun

Sering kita berlari menghindarinya

Tapi kata hati selalu memanggil kita

Dengan suara dan tatapannya yang lembut

Saat kita berontak terhadapnya

Kata hati selalu merangkul dan mendekap hati kita dengan kasih

Sudah saatnya kita berdamai dengan kata hati

Mudah mengucapkannya

Namun teramat berat melakukannya

Tapi percayalah pada kata hati

Bahwa dia akan menjadi penuntun kita yang setia

Kata hati akan setia hingga waktu menjemput kita




A Y A H

Kayuhan nafasmu adalah jalanku

Tak peduli rambut kian memutih

Tak hiraukan letih jiwa raga

Tulang punggung bagi kami

Helaan nafasmu kian berderit

Setua engsel usang

Andaikan selaksa bintang dapat kupetik

Aku akan memetiknya untukmu

Ayah

Sembah sujudku padamu


Cawang, 9 Maret 1989




K E C E W A ( 2 )



Laksana petir menyentak kalbu

Luluh lantak tak bersisa

Air mata darah turut campur

Warnanya tak lagi jingga

Tapi ungu menjelang hitam

Belasan tahun bermain dengan asa biru

Biru yang tak kunjung menjadi putih

Ketika petir mengoyak kalbu

Hilang semua

Tak berbekas

Bahagia dan sedih silih berganti

Namun teramat banyak kesedihan menjelang

Bahagia sekejap

Asa yang menahun

Ketika petir menggedor kalbu

Hancur

Dan sirnalah semua


Cawang, 29 September 1993





JALAN MENUJU KERAJAAN - MU



Tuhan...

Ketika aku berdzikir atas nama-Mu

Lewat dihadapanku seorang wanita bermuka menor

Ia tersenyum genit

Ingin rasa kudekap erat

Tuhan

Ketika ku bertahajud atas diri-Mu

Kudengar tawa sepasang manusia bercumbu melewati malam

Membuat aku nanar

Nyaris membuatku terkapar

Ya Allah

Ketika antara batas mulai merapuh

Engkau berdiri di depanku

Dan ketika angan semakin mengembara

Cahaya-Mu menerpa wajahku

Engkau buka pintu kerajaan-Mu untukku

Engkau jamu aku dengan kenikmatan tak berbatas

Engkau hapus semua lelahku

Ya Illahi

Telah sampai aku di nirwana-Mu


Cawang, 29 September 1993




SAJAK IKAN - IKAN



Liukkan tubuhmu

Bangkitkan gairah

Kibasan ekormu

Ciptakan mimpi jadi nyata

Wahai :

Kenapa sisikmu tanggal satu - persatu

Tinggal kulit berbalut derita

Tinggal asa yang menyeruak

Andai bisa

Kan kupasang sisikmu

Satu - persatu

Sehingga kebahagiaanmu menjadi genap

Goyang

Goyangkan tubuhmu

Akan kami ikuti iramamu

Semampu kami


Cawang, 8 Maret 1994



SAJAK IKAN - IKAN ( 2 )



Hentakkan siripmu

Goncangkan dunia

Liuk tubuhmu

Taklukan jagad

Dalam pekat

Dahaga menyibak

( merobek tirai waktu...

mengoyak pintu tirani )

Gelembung dari mulutmu

Segarkan jiwa yang letih

Hangatkan wajah lesi

Goyang

Goyangkan tubuhmu

Kami bersujud


Cawang, 5 Juni 1989





TITIP RINDU



Bersama angin yang berhembus

Atas kehendak-Mu

Sampaikan salam takzimku pada Beliau

Bersama awan-awan yang berarak

Atas izin-Mu

Bawalah butiran-butiran air mata rinduku pada Beliau

Dengan bantuan lidah-lidah burung

Atas perintah-Mu

Sampaikan mohon ampunku pada Beliau

Terlalu lama aku berjalan

Letih teramat sangat menderaku

Hingga aku tergelincir jauh

Lebam berlumpur ragaku

Kering jiwaku

Tak ada lagi keelokan yang tersisa


Atas bantuan hujan

Yang tunduk patuh pada-Mu

Basuhlah aku


Singosari, 2 Juli 2009




G A S I N G



Putar... putar... putar...

Ikuti putarannya

Rasakan sensasi ajaibnya

Pusing... pusing... pusing...

Jangan berhenti berputar

Rasakan irama magisnya

Ikuti terus iramanya

Liukkan badan ke kiri- ke kanan

Putar ke depan... balik belakang


Semakin dia cepat

Kejarlah dengan segala dayamu

Semakin dia liar

Garangkanlah gerakanmu

Teruslah berputar

Teruslah bergerak liar

Saat sensasinya memudar

Pudar juga dayamu


Singosari, 28 Maret 2009




B U N D A



Butiran-butiran mutiara kasihmu

Hapuskan resahku

Untaian permata sayangmu

Satukan bahagiaku yang sempat tercecer

Tanganmu tak lagi selembut beludru

Namun kurasakan kehangatan yang semakin mengental

Kakimu tak lagi semulus satin

Namun kuhirup aroma kesturi di sana

Jejak-jejak yang kau tinggalkan

Adalah penopang jalan gelapku


Angan yang kau sematkan di antara gemintang

Adalah deretan do'a-do'a bagi langkahku

Kulabuhkan jiwa ini padamu

Semakin kering rasaku

Karena aku merasa

Tak pernah menjadi pelabuhan teduh bagimu

Hanya noktah-noktah kelam yang kupintal untukmu

Dan aku selalu memaksamu

Untuk mengalungkan hasil pintalanku

Di lingkar leher rapuhmu


Singosari, 14 Mei 2009




SELARIK SELENDANGMU

Selarik selendangmu

Lembut melambai bak tangan sang dewi

Menaburkan aroma kesturi nan syahdu


Selarik selendangmu

Malu-malu mendekap bening kulitmu

Sehingga kerlingmu pun seakan ikut malu

Menambah dahagaku semakin memberontak liar

Selarik selendangmu

Lembut melekat

Membiaskan lukisan dewata nan rupawan

Rasuki hasrat manusiawiku untuk menyibaknya

Selarik selendangmu

Kokoh membungkus bening wajahmu

Seakan menjagamu dengan kelembutan

Berlapis benteng kokoh

Wahai rembulan malam

Yang malu bersanding denganmu

Bisikkan padanya

Agar ia mau menyibakkan selarik selendangnya barang sejenak

Rayulah bidadariku

Biar dia tahu

Bahwa ada jiwa hampa yang mulai letih

Dan ada satu raga yang mulai lunglai


Singosari, 14 Mei 2009